-Pengertian AAUPL
Asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL), dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Asas-asas umum pemerintahan yang layak ini merupakan konsep terbuka (open begrif). Karena itu akan berkembang dan disesuaikan dengan ruang dan waktu dimana konsep ini berada. Kedudukan AAUPL dalam Sistem Hukum Berdasarkan pendapat van Wijk dan ten Berge, kedudukan AAUPL dalam sistem hukum adalah sebagai hukum tidak tertulis. Menurut Philipus M.Hardjon, AAUPL harus dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPL bagi setiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Sebenarnya menyamakan AAUPL dengan norma hukum tidak tertulis dapat menimbulkan salah paham, sebab dalam konteks ilmu hukum telah dikenal bahwa antara “asas” dengan “norma” itu terdapat perbedaan. Asas atau prinsip merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak, ide atau konsep, dan tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma adalah aturan yang konkret, penjabaran dari ide, dan mempunyai sanksi. Pada kenyataannya, AAUPL ini, meskipun merupakan asas, tidak semuanya merupakan pemikiran yang umumdan abstrak, dan dalam beberapa hal muncul sebagai aturan hukum yang konkret atau tertuang secara tersurat dalam pasal undang-undang, serta mempunyai sanksi tertentu. Oleh karena itu, pengertian norma (kaedah hukum) dalam arti sempit mancakup asas-asas hukum dan peraturan hukum konkret, sedangkan dalam arti luas pengertian norma ialah suatu sistem hukum yang berhubungan satu sama lainnya. Apabila asas-asas umum pemerintahan yang layak dimaknakan sebagai asas atau sendi hukum, maka dapat dimaknakan sebagai asas hukum yang bahannya digali dan ditemukan dari unsur susila, didasarkan pada moral sebagai hukum riil, bertalian erat dengan etika, kesopanan, dan kepatutan berdasarkan norma yang berlaku.
-Pemerintahan yang layak AAUPB
Dalam UU Administrasi Negara, dimungkinkan untuk munculnya asas-asas lain dalam AUBP sepanjang asas-asas lain tersebut dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, hakim dan AUBP memiliki hubungan yang unik. Di satu sisi, AUPB merupakah alat uji yang digunakan hakim untuk menguji putusan dan/atau tindakan pemerintah. Di sisi lain, hakim merupakan “pencipta” AUPB melalui putusan-putusannya. Perihal penerapan AUPB oleh hakim sebagai alat uji atas putusan dan/atau tindakan pemerintah, menarik disimak adalah hasil penelitian sosio-legal dari program Judicial Sector Support Program (JSSP,2016) yang dipaparkan pada tanggal 24 Januari 2017. Tujuan penelitian adalah memahami bagaimana sesungguhnya praktik penggunaan AUPB dalam pengambilan keputusan oleh hakim di pengadilan-pengadilan tata usaha negara (PTUN) dengan menggunakan 5 (lima) kasus sengketa Tata Usaha Negara (TUN) sebagai metode untuk memahami putusan PTUN dan pemberlakukan doktrin AUPB dalam praktik. Bersumber pada Ringkasan Eksekutif penelitian yang dibagikan kepada peserta acara pemaparan, dari hasil penelitian terungkap bahwa ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi pemberlakuan AUPB , yakni antara lain keragaman pendapat hakim dalam menilai apakah AUPB adalah norma penguji tersendiri serta keragamanan pendapat terkait kewenangan hakim dalam menguji AUPB sebagaimana diuraikan di bawah ini. Adapun faktor internal lainnya tidak diuraikan dalam kesempatan ini. Pada faktor keragaman pendapat hakim dalam menilai apakah AUPB adalah norma penguji tersendiri, berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah hakim PTUN, bahwa ketika hakim menerima dan memeriksa gugatan TUN, dirinya akan mempertimbangkan terlebih dahulu apakah KTUN tersebut melanggar peraturan perundang-undangan atau tidak. Jika KTUN tersebut melanggar peraturan perundang-undangan, maka hakim tidak menelaah lebih jauh mengenai aspek pelanggaran AUPB-nya. Namun, dalam hal ini ternyata masih terdapat perbedaan. Sebagian hakim PTUN lainnya ternyata berpandangan bahwa AUPB akan tetap perlu ditelaah, melihat bagaimana Pejabat TUN menerapkan kewenangan diskresinya, yaitu ketika kebijakan tersebut dikeluarkan, apakah berdasarkan ketentuan yang sudah jelas, atau sebaliknya, kurang jelas aturannya. Pada faktor keragamanan pendapat terkait kewenangan hakim dalam menguji AUPB, ada dua pandangan yang terjadi dalam praktik peradilan. Pertama, pandangan mengenai AUPB sebagai norma pengujian tersendiri, atau dalam arti sebagai tambahan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Sedangkan pandangan kedua, lebih menempatkan hakim berdasarkan jabatannya (ex-officio) berwenang untuk menguji telah dipenuhinya AUPB atau harus berdasarkan dalil penggugat.
2. Menurut UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Asas-asas umum pemerintahan yang layak di Indonesia diidentifikasikan dalam Pasal 3 dirumuskan sebagai Asas umum Penyelenggaraan negara :
1. Asas Kepastian Hukum, adalah asas dalam rangka negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara.
3. Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
4. Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara.
5. Asas Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara.
6. Asas Profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Penggugat Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN (Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004). Badan hukum perdata di sini adalah murni Badan yang menurut pengertian hukum perdata berstatus sebagai badan hukum. Jadi bukan lembaga hukum publik yang berstatus sebagai badan hukum, seperti Propinsi, Kabupaten, Departemen, dan sebagainya. Jadi, orang atau badan hukum perdata tersebut secara hukum sebagai pendukung (pemangku) hak-hak dan kewajiban, sehingga atas dasar itu mempunyai legal standi untuk mempertahankan kepentingan yang dirugikan oleh suatu Keputusan TUN dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Apabila Penggugat meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat melanjutkan gugatannya sepanjang dapat membuktikan adanya kepentingan untuk itu. Di dalam perkembangan dimungkinkan Pejabat TUN dapat menjadi Penggugat bertindak mewakili instansi Pejabat TUN tersebut dalam mempermasalahkan prosedur penerbitan Keputusan TUN yang ditujukan kepada instansi Pemerintah yang bersangkutan. Misalnya, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN tentang Pencabutan Surat Ijin Penghunian (SIP) yang ditempati instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN yang berisi perintah bongkar bangunan milik instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap pembatalan sertipikat tanah milik instansi Pemerintah, dan sebagainya (lihat Buku II, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara.
Jika masyarkat merasa di rugikan pemerintah ,masyarakat disarankan untuk berani menempuh jalur hukum apabila merasa diperlakukan tidak adil atau dirugikan oleh keputusan maupun tindakan tata usaha negara (TUN) yang dikeluarkan oleh aparatur pemerintah. Mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan solusi untuk menjawab persoalan tersebut. PTUN merupakan lembaga yuridis yang diberi mandat untuk menyelesaikan pelbagai sengketa tata usaha negara, khususnya sengketa yang lahir antara orang atau badan hukum perdata dengan badan maupun pejabat di lingkungan pemerintah pusat dan daerah yang merupakan imbas dari keputusan TUN itu sendiri.
0 Comments:
Posting Komentar